Rabu, 09 Maret 2011

Sebutir Nasi di Sudut Kota, Bangunan Tua Kertas Berwarna

Berjalan menelusuri setiap sudut kota, melewati bangunan-bangunan tua yang tak terawat. Sebagian, ada penghuninya, namun sebagian lagi hanya berhiaskan lumut-lumut basah dan kering. Jejak-jejak tangis mereka seakan masih tampak pada setiap sisi bangunan itu. Suara teriakan, jeritan tangis dan pekikan kesedihan sayup-sayup terdengar. Namun tak begitu jelas, darimana sumber semua itu. Yang ada hanya sesuatu yang semu, yang tampak hanya bekas-bekas berdebu. Dalam setiap langkah kaki, seakan ada ikatan yang menghalangi untuk melangkah ke ruas berikutnya.
Awan mulai menghitam, suara gemuruh saling bersahutan, cahaya kilat mulai menyala. Namun, hujan tak kunjung turun. Sedangkan matahari, bulan dan bintang masih bersembunyi. Seakan malu menunjukkan jati diri mereka.

Berhenti pada satu titik pusaran, banyak petunjuk dengan ribuan anak panah. Namun tak satupun yang memberikan petunjuk penuh kejelasan, semuanya samar-samar, bahkan ada yang sudah usang dan tak meninggalkan bekas sedikitpun. Pusaran ini terus bertumpu pada satu titik, nafas pun mulai tak seimbang, detak jantung mulai meronta, denyut nadi mulai tak bersahabat. Namun kaki ini harus tetap bertahan, hingga pusaran ini berhenti pada waktunya.

Mereka yang di sudut sana terus berpesta, menghitung setiap koin yang ada. Mulai bingung di mana harus menyimpan jutaan lembar kertas bergambar dan berwarna yang bertuliskan angka-angka. Ketakutan di tengah keserakahan. Satu kertas hilang, ribuan nyawa melayang. Satu kertas bergambar itu, bisa membuat suara yang lainnya berpindah tuan. Satu kertas berwarna itu, bisa membeli harga diri mereka yang tak bertuhan. Bahkan satu kertas itu, mampu membuat kesucian diri dan nurani ternoda yang tak bisa dibersihkan dengan apapun.

Mereka yang di sudut lainnya, tengah tertawa terbahak-bahak. Bebas dari borgol besi yang hanya cocok di tangan kaum menjerit. Borgol yang hanya bisa dipakai oleh mereka yang memekik perih. Borgol besi itu membuat jutaan nyawa tak lagi punya daging. Borgol laknat itu pula yang membuat jutaan nyawa menyatu dengan asal raga mereka yaitu tanah. Bahkan untuk mendapatkan tanah itu pun harus menangis darah yang keluar dari mata raga lainnya.

Sebutir nasi tak lebih berharga daripada sebuah kelereng. Sebutir nasi tak lebih berharga daripada sebuah gundu. Mengais ngais sampah di setiap tumpukan, hanya untuk sekedar mengobati tangis seorang anak manusia yang belum mengerti akan kejamnya dunia. Mengikis jejak-jejak keserakahan mereka, hanya untuk mengobati luka anak manusia yang tak mengerti apa itu keserakahan. Anak manusia itu hanya tahu bahwa mereka butuh sebutir nasi, mereka tidak butuh kertas bergambar dan berwarna serta bertuliskan angka-angka. Bahkan tidak pernah terpikir oleh anak manusia itu seberapa besar nilai kertas itu untuk bisa membeli hidup ini...

Sudut kota ini semakin tergores oleh rintihan batin dan jeritan nurani. Bangunan-bangunan tua berlumut itu, hanya bisa jadi saksi bisu dan diam tanpa melakukan apa-apa. Bangunan tua itu bahkan lebih patuh pada mereka pemilik kertas bergambar, bukan pada anak manusia yang butuh sebutir nasi saja.

Pekanbaru, 16 Februari 2011

D'Girlz

Tidak ada komentar: