Kamis, 12 Februari 2009

Memoar of Mind


Aku lupa kapan tanggal tepatnya, yang jelas waktu itu adalah hari-hari pertama aku mengenakan seragam putih abu-abu. Ya, sekitar bulan Juli atau Agustus, 2002. Usiaku belum genap 15 tahun. Aku merasa begitu bahagia dengan seragam baruku. Bukan itu saja, akupun memiliki banyak teman baru yang sama sekali belum pernah aku kenal sebelumnya. Namun, tentu saja sudah banyak pula yang menjadi temanku dari kecil. Mungkin, ini bisa menjadi salah satu alasan, aku tetap menjaga keceriaanku, karena setidaknya aku tidak sendiri. Banyak teman yang sudah kukenal sebelumnya, ternyata satu kelas denganku. Tapi, itu bukan berarti kalau aku tidak bisa beradaptasi, hanya saja akan lebih mudah untuk bergaul di lingkungan baru, jika kita sudah punya kenalan sebelumnya. Aku pikir banyak yang setuju dengan pemikiranku ini.
******
Hari ini adalah hari pertama belajar, hmm aku benar-benar merasakan suasana yang berbeda. Ada banyak wajah, suara dan tingkah baru yang aku temui di ruangan yang sepertinya perlu dan harus direnovasi ini. kini sudah dirombak dan menjelma menjadi sebuah ruangan yang jauh lebih nyaman daripada yang dulu aku rasakan. Di depan kelas, suara seorang pria seusia ayahku dengan teliti dan lantang menyebutkan nama-nama yang ada di buku yang dipegangnya. Aku masih ingat, namanya Bapak Afdal. Ternyata, ia adalah sahabat ayahku sewaktu SMA. Namun, itu bukan berarti kalau aku bisa dengan mudahnya mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran olahraga yang ia ajarkan atau menjadi "murid emas' di kelas. Ia adalah sosok guru yang objektif, tegas, disiplin namun penuh kasih sayang.
Ia memanggil nama-nama yang tertera, berdasarkan abjad. Sembari memperhatikan dengan jelas dan teliti, wajah dari si pemilik nama yang menyahut "hadir, Pak" sambil mengacungkan tangan. Setelah semua nama selesai ia panggil, ia lalu berkata, "Ternyata, ada teman baru kalian yang belum masuk". Memang betul. Ada beberapa murid yang belum menampakkan batang hidungnya. Salah satunya adalah murid laki-laki yang belakangan aku tahu bahwa ia adalah seorang atlit futsal. Namanya Akbar. Lengkapnya Akbar Alfarizi. Nama yang begitu bagus. Hmm, di sinilah kisah ini berawal.
*******

Sudah hampir seminggu, tapi ia juga belum melengkapi jumlah siswa di kelas ini. Padahal, efekifitas kegiatan belajar mengajar sudah berjalan lancar. Tentu saja, aku masih bertanya-tanya. Siapa dia sebenarnya? Apakah betul ia terdaftar sebagai salah satu siswa di kelas kami? Atau mungkin ia pindah kelas? Atau mungkin bahkan ia pindah sekolah? Masih banyak pertanyaan lainnya. Memang, aku begitu penasaran. Wajar saja, aku sudah mengenal semua teman-teman baruku, kecuali dia. Entahlah. Apa yang kupikirkan saat itu. Aku hanya penasaran dan ingin tahu bagaimana rupa si anak futsal tersebut. Terkadang, aku bosan karena nama dia selalu disebut, namun orangnya nihil.
*** Senin, minggu kedua belajar. Seperti biasa, waktunya untuk upacara bendera. Keadaan yang tak jauh berbeda dengan Senin sebelumnya. Upacara berlangsung khidmat dan lancar. Selesai upacara, seluruh siswa diinstruksikan untuk masuk ke kelas masing-masing, karena pelajaran pertama akan segera dimulai. Masih jelas di ingatanku, kami akan belajar olahraga bersama wali kelas tercinta. Aku masih saja penasaran, tentang sosok seorang Akbar. Teman-temanku pun banyak yang menjawab tidak tahu, setiap kali aku bertanya tentang dia. Wajar donk. Tapi, Ada Linda, salah satu temanku yang ternyata satu sekolah waktu SMP dengan Akbar. Aku mendapatkan sedikit info dari tetanggaku ini. "Setahu aku, dia atlit futsal dan sekarang lagi ikut kejuaraan nasional futsal junior di Surabaya," ujar Linda. "Kok, kamu ga' pernah cerita sech?", balasku. "Khan kamu ga' pernah nanya sama aku," balasnya lagi. Aku hanya tersenyum dan mengatakan, "O, iya, hehehe,".
Memang, meskipun kami tinggal dalam satu komplek perumahan, tetapi kami tidak begitu akrab. Maklum, komplek perumahan kami lumayan besar dan kami tinggal di jalan yang berbeda. *** Keesokan harinya, aku datang lebih awal ke sekolah. Ya, aku tidak mau terlambat lagi, karena aku sudah pernah terlambat mengikuti jam pelajaran pertama di hari Selasa. Seingatku, pelajaran Fisika. Sejujurnya, aku tidak begitu menggemari pelajaran yang penuh dengan teori dan rumus ini. Alasannya hanya satu, karena setiap kali pertemuan sudah pasti ada rumus baru yang harus dihafal dan dipahami, plus dengan banyaknya angka-angka yang harus menghiasi catatanku. Singkatnya, aku "benci" angka-angka. Sudah bisa ditebak donk, mata pelajaran apalagi yang bisa membuat kejenuhanku meningkat cepat.
Satu lagi alasannku datang cepat adalah karena aku harus menjalankan tugas dan tanggung jawabku untuk piket pada hari itu. Sebenarnya, bisa saja aku piket kemarin sore sepulang sekolah. Tapi, karena rumahku jauh dan teman-teman juga sudah pada pulang, makanya aku urungkan niatku untuk membersihkan kelas. ***Waktu sudah menunjukkan pukul 07.25 WIB. Neeeeeeetttttt,, neeeeeeeetttttttt,, kurang lebih seperti itulah sound yang terdengar ke se-antero sekolah. Itu bukanlah pertanda bahaya banjir, kebakaran atau ada yang meninggal. Melainkan adalah petunjuk bahwa sudah saatnya semua siswa fokus ke pelajaran hari itu.
Suasana kelas begitu menyenangkan. "Assalamu'alaikum. Selamat pagi, anak-anak,'' ujar bu Fatma saat melangkahkan kaki ke kelas. Ia tampak begitu anggun dengan seragam warna coklat, jilbab coklat dan sepatu hitam yang kelihatannya baru buka merk toko. Ia membawa tiga buah buku dan menyandang sebuah tas hitam bermotif kupu-kupu. "Wa'alaikum salam. Pagi buk," jawab kami serempak. Meskipun aku sangat yakin,
ada yang tidak menjawab. Sesaat berselang, suasana kelas tiba-tiba sedikit berubah dengan kedatangan seorang murid laki-laki. Sosoknya begitu asing bagiku. Entahlah, bagi teman-teman sekelasku. Mungkin saja mereka kenal dengan "anak baru" itu. Meskipun ia asing bagiku, tapi tak bisa dipungkiri kalau hatiku mengatakan sesuatu. "Cowok ini manis juga, kelihatannya dia baik dan pintar", itulah kalimat yang menggumam di hatiku. Aku hanya memandangnya sambil tersenyum kecil. "Kamu kenapa senyum-senyum?". Pertanyaan Ria, teman sebangkuku spontan mengagetkanku. "Hm, ga' apa-apa", jawabku berkilah.
Sesaat kemudian, setelah "si anak baru" berbincang-bincang dengan bu Fatma, ia lalu menuju ke sebuah bangku kosong (ups, bukan judul film lho n bangkunya dijamin ga' angker) yang berada persis di depanku. Sebelum duduk, ia melemparkan senyum manisnya kepadaku. Entahlah, mungkin aku yang GE ER, atau apalah namanya. Aku merasa itu adalah senyum cowok termanis yang pernah kulihat. Aku pun membalas senyumannya dengan ciri khasku. Mungkin saja, senyumanku bukan senyuman termanis cewek yang pernah dilihatnya.
Setelah duduk, ia lalu bersalaman dengan Putra, yang duduk di sebelahnya. "Hai, Put, apa kabar? Ternyata, kita satu kelas dan sebangku ya?", ujarnya akrab.
"Iya ni, asyik donk," jawab Putra. Aku hanya bisa menatap mereka keheranan dan bertanya dalam hati, kok Putra bisa begitu akrab dengan dia? Belum selesai melaju ke pertanyaan berikutnya, ia tiba-tiba berujar kepadaku.
"Hai, kenalin, aku Akbar," ujarnya sambil menyodorkan tangan dengan maksud bersalaman. Spontan aku kaget dan entahlah mengapa, jantungku berdebar seketika. "Stevany," jawabku singkat sambil menyambut tangannya. Ia juga berkenalan dengan Ria. Setelah itu dilanjutkan dengan Dewi dan Budi yang duduk di depannya.
"Akbar, panggil saja aku Stevy, biar lebih akrab," celetukku padanya. "OK, Stevy," balasnya sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan saat itu. Hmm, jadi dialah sosok yang selama ini membuat aku penasaran. Bukan karena ingin menaklukan hatinya seperti di film-film cinta, tetapi karena namanya terdata di daftar absen tetapi tidak menampakkan sosok (Penampakan kali yeeee???). ***
Dua mata pelajaran sudah kami lewati. Bu Fatma memberikan kami tugas Fisika yang harus dikumpulkan besok. Sementara itu, Pak Asrul yang masuk setelah bu Fatma selesai menjalankan kewajibannya, juga menghadiahi kami dua topik pilihan untuk membuat karangan yang harus dikumpulkan besok juga. Ugh, benar-benar pekerjaan rumah yang melelahkan. Sebenarnya, aku senang dengan yang namanya mengarang, karena aku bisa berekspresi sebebas mungkin. Namun, karangan yang ditugaskan Pak Asrul haruslah dalam bahasa bule alias in English, istilah modernnya. Ya, Pria berkacamata itu adalah guru bahasa Inggris kami.
Sebenarnya, ia guru yang baik dan menyenangkan. Tetapi, sudah tiga kali pertemuan, selalu saja ia menitipkan tugas untuk kami. Inilah yang membuatku agak kesal kepadanya. Tapi, apalah dayaku. Ia memang terkenal sebagai guru yang doyan tugas. Efek sampingnya adalah, keberuntunganku. Kenapa? Karena alhamdulillah, aku termasuk murid kesayangannya yang always mendapat nilai minimal 8,0. Sebenarnya, bukan aku saja. Tapi, ada Budi, Martha, Genta dan Putra. Bisa dibilang, kami berlima adalah 'blacklist’ kelas dalam pelajaran Bahasa Inggris. (Berarti aku pintar donk. Jelas lah. Stevy gitu loh). ***
Satu bulan sudah kami melewati suasana kelas baru, seragam baru, guru-guru baru, teman-teman baru dan masih banyak lagi yang serba baru, kecuali meja dan bangku yang kami tempati. Sama sekali jauh dari kesan 'baru". Tidak satupun meja yang bersih dari berbagai coretan spidol atau tipe-x. Begitupun dengan bangku yang setiap hari senantiasa kami duduki, ada yang bolong, bergambar tengkorak, tanda tangan, bahkan ada yang kakinya nyaris pincang. Namun, janji pihak sekolah untuk segera mengganti fasilitas dengan yang baru, masih seputar angan-angan.
Meskipun waktu satu bulan sudah kami jalani, namun kami masih seperti melewati satu hari. Hanya saja, sudah mulai terlihat gejala-gejala seperti kebanyakan cerita sinetron. Ada yang membentuk gank, ada yang suka menyendiri, ada yang merasa sok keren, ada yang merasa paling jagoan, ada yang kutu buku, syukurnya tidak ada yang cupu alias culun punya. Lalu, aku harus masuk ke bagian yang mana? Tidak. Aku biasa-biasa saja alias netral. Meskipun tersirat ada dua atau bahkan tiga gank di kelas yang atapnya sudah pada bolong itu, namun aku selalu berusaha untuk bisa menjadi bagian dari ketiganya. Berhasilkah? Alhamdulillah. (Back to).
Aku, Akbar, Putra, Ben, Dewi dan Martha berada dalam satu suasana akrab. Saling bercerita, bercanda dan berbagi pengalaman. "Sebenarnya, aku mau masuk hari pertama sekolah, sama kaya' kalian. Tapi, waktu itu, aku masih di Surabaya mengikuti Kejurnas Futsal", cerita Akbar kala itu.
"Emangnya, kamu atlit ya?", tanyaku. "Yup, tapi masih junior. Pengennya sech, jadi atlit profesional," balasnya.
"Kalo gitu, sama dunk kaya’ Dewi, tapi bedanya Dewi khan atlit Volly," sela Martha sambil melirik ke arah Dewi. "Ah, biasa aja kali," tukas Dewi seketika.
"Emangnya, kamu suka banget ya sama Futsal?, kenapa ga' milih olahraga yang lain?", tanyaku lagi. "Betul, kenapa ga' basket, karate, sepakbola atau atletik mungkin," sambung Ben. Lagi-lagi pertanyaan ini ditujukan kepada Akbar.
"Dari kecil, aku memang senang futsal, pengennya sech sepakbola. Tapi, karena awalnya masuk klub futsal, ya udah, lanjut aja sekalian. Sepakbola dijadikan hobi atau selingan aja. Lagian, ga' jauh beda kok, teknik dan latihannya hampir sama. Cuma beda jumlah pemain dan tempatnya aja," jelasnya sambil tersenyum.
"Kalau Badminton kamu suka ga’?", tanyaku. "Lumayan, tapi jarang main," jawabnya lagi. Hmm, sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang mau aku ajukan, tapi malu juga sech, takut yang lain pada mikir yang aneh-aneh. Apalagi, mereka paling suka dengan yang namanya kejahilan dan keisengan dalam hal membuat gosip.
"Kamu tinggal di mana Bar? jauh ga' dari sekolah kita?" tanya Martha yang juga mewakili pertanyaan di batinku. "Lumayanlah, 15 kilo dari sini. Tapi, khan aku bawa motor sendiri, jadi ga' terlalu masalah," jawabnya. "Kalo itu mah, bukannya lumayan, tapi emang jauh banget," selaku sambil tertawa kecil.
"Rumah Akbar, se-arah sama rumahku, tapi aku masih lebih dekat," ujar Putra sambil mengambil handphone dari kantong bajunya yang tiba-tiba berbunyi. Dari nadanya, itu adalah pertanda ada sebuah pesan dari seseorang.
"Berarti, se-arah juga dunk sama aku. Aku khan juga se-arah sama Putra, kita juga sering pulang bareng," ujarku. "O, ya? tapi sayangnya aku harus jemput Mama dulu ke kantor setiap pulang sekolah, jadi kita ga' bisa barengan juga dech," ujar Akbar.
Ya, aku dan Putra memang hampir setiap hari pulang bareng. Bukannya apa-apa, tapi karena cowok jangkung ini adalah teman lamaku dan kebetulan pula, ia ngakunya naksir sama salah satu cewek di kelasku. Siapa ya? Ups, ntar aja aku jawabnya. Ini khan kisahku. Bukan ceritanya Putra dan cewek incerannya. Setuju ya??? Kudu, Harus dan Wajib!!! ***
Siang itu, jam istirahat berlangsung agak lama dari biasanya. Kalau tidak salah, ada sekitar 20 menit, waktu yang sangat berharga bagiku dan tentu saja bagi yang lainnya. Di, ruang rapat sekolah, sedang ada pertemuan antara para guru dengan salah satu tamu langganan sekolah. Siapa lagi kalau bukan Bapak-bapak dan Ibu-ibu dari Dinas Pendidikan. Rapat terlihat alot dan serius, setidaknya itulah yang kulihat saat tadi melintas di ruang rapat sekolah. Tapi, karena pintu ditutup, otomatis aku ga' tahu apa yang dibahas. Lagian, sangat tidak sopan, jika harus nguping pembicaraan mereka dan juga bukan sebuah hal yang pnting bagiku.
Teman-teman yang lain, sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang masih makan di kantin, ada yang dengerin walkman (untungnya lagi ga' ada razia massal), ada yang ngerumpi, ada yang mengerjakan tugas, ada yang tidur dan sebagainya. Begitupun aku yang dengan fokusnya menulis di sebuah buku yang biasa aku gunakan untuk "curhat". "Hai, Stev. Sendirian aja nech. Lagi nulis apaan? Serius amat keliatannya," Akbar tiba-tiba mengagetkanku dengan suara lantangnya. "Ya, ampun Bar. Bisa ga' sech, kamu ga' ngagetin aku kaya' gitu? Kalau aku jantungan gimana?," jawabku. "Sorry dech, habisnya kamu dari tadi aku perhatiin, sibuk nulis-nulis sendiri, apalagi mulut kamu pakai komat-kamit segala, kaya' dukun," balasnya sambil tertawa ringan.
"Yee, enak aja. Aku tu lagi nyalurin hobi," jawabku tanpa senyuman untuknya. Kami pun langsung terlibat dalam sebuah obrolan ringan namun penuh makna. Sesekali diselingi gurauan, candaan dan ejekan. Hal yang sudah biasa di kelasku. Hmm, ada sesuatu yang beda saat aku ngobrol dengannya. Aku merasa dia begitu asyik dan enak diajak ngobrol. Apalagi ia suka iseng mengejekku sesekali waktu. Tentu saja, aku melakukan serangan balasan padanya. Neeeeeeeetttttttttttttttttttt,,, bel panjang berbunyi yang seketika harus mengakhiri obrolan kami untuk saat itu. Tak terasa ternyata sudah cukup lama kami berbagi cerita.
Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke kelasku sambil membawa buku dan tas. Ia adalah Bu Riri, guru Biologi kesayangan kami. Selain masih muda, ia juga manis, lembut dan humoris. Tak jarang, kami suka bercanda saat belajar, bahkan kami juga sesekali membuatnya kesal dengan tingkah usil dan nakal kami. Namun, ia tak pernah marah. Maklum, meskipun sudah punya suami dan anak, namun usianya belumlah seperempat abad. Masih kurang 2 tahun. Jadi, jelas saja jika ia masih berjiwa muda dan tidak seperti kebanyakan guru lainnya yang rata-rata sudah berumur 30-an, bahkan ada yang sudah pantas untuk dipanggil nenek, karena punya cucu yang usianya tak jauh beda dengannku. ***
Materi yang disampaikan bu Riri sebenarnya cukup menarik, apalagi aku menyukai pelajaran yang satu ini. Namun, entah kenapa saat itu merasa konsentrasiku terpecah dengan sesuatu. Aku bukannya mendengarkan penjelasan dari beliau, tapi aku malah sibuk menulis puisi dan syair-syair indah sebagai ungkapan perasaanku. Ria yang biasanya duduk di sebelahku, hari itu tidak masuk karena sejak 2 hari lalu ia sakit dan harus istirahat sesuai anjuran dokter. Aku yang awalnya duduk sendiri, tiba-tiba dikagetkan dengan kehadiran Martha di sebelahku. Kebetulan teman sebangkunya, Anti sedang izin ke luar kota bersama keluargarnya.
"Stev, kamu nulis apaan sech?" tanyanya singkat. "Ga' ada apa-apa, cuma nulis puisi biasa," jawabku setengah berbisik. Aku pun menghentikan aktivitasku itu dan langsung mengalihkan perhatian ke arah Bu Riri yang masih setia menjelaskan materi Sistem Reproduksi Tumbuhan kepada kami.
"OK, sekarang keluarkan buku latihan kalian karena saya akan memberikan kuis," ujar Ibu satu putra tersebut. Sudah bisa ditebak, ia akan memberikan kuis buat kami. Mau tahu hadiahnya? Bagi siapa saja yang berhasil menjawab lima pertanyaan dengan benar dan cepat, maka akan dibebaskan dari pekerjaan rumah yang rutin diberikannya. Sayangnya, aku belum beruntung mendapatkan hadiah tersebut. Bukannya jawabanku yang salah, tapi aku selalu keduluan dari Erick. Maklumlah, ia sangat tergila-gila dengan pelajaran Biologi. Saking gilanya, ia pernah bilang mau jadi ahli Biologi dalam segala hal. Sampai detik ini, aku tak pernah mengerti apa maksudnya. ***
Jam istirahat kedua akhirnya datang. Aku, Martha, Lusi, Tari dan Vita menuju ke musholla sekolah untuk menunaikan sholat Zuhur. Seusai sholat, kami menuju ke taman sekolah setelah sebelumnya membeli cemilan ringan di kantin langganan kami. "Stev, kamu suka ya sama Akbar?" tanya Lusi yang spontan mengagetkanku. "What? Kok kamu nanya gitu sech?" jawabku. "Bukannya apa-apa Stev, kami sering merhatiin kamu suka senyum-senyum sendiri kalau lagi mandangin Akbar," balas Tari yang diamini Vita. Hmm, ternyata mereka sudah lama memperhatikan sikap anehku kalau melihat si jagoan futsal. "Trus, kalo aku senyum-senyum berarti bahwa aku suka?" tanyaku membalas.
"Mungkin aja, apalagi dulu khan kamu yang paling penasaran sama dia. Nah, di saat udah kenal dia siapa tahu khan, kallau ternyata kamu suka sama dia," ujar Vita. "Jujur aja dech Stev, cerita donk sama kita," lanjut Tari menodongku dengan pertanyaan yang agak sulit untuk kujawab.
"Ga' ada yang perlu diceritain dan ga' ada yang namanya suka-sukaan," jawabku sambil mengunyah sebatah permen karet. "Ya udah dech, kalo kamu ga' mau cerita. Tapi, hati-hati, ntar kamu benaran suka lho ama dia alias naksir gitu loh," ujar Lusi setengah menggodaku. Aku tidak berkata apa-apa selain hanya tersenyum setengah terpaksa.
Tapi, kalimat Lusi barusan ada benarnya juga. Jangan-jangan aku suka atau naksir beneran lagi sama Akbar. Tapi, ga' ah. Khan usiaku belum 17 tahun. 15 tahun aja belum genap, gimana bisa suka atau naksir cowok? Kaya'nya ga' mungkin dech. Itulah yang selalu memutari otak dan batinku sampai jam pulang sekolah. Aku bersyukur jam pelajaran terakhir kosong, karena Pak Fadel yang biasanya suka bercerita tentang sejarah masa silam, sedang tugas ke luar kota. Jadi, aku tidak harus membagi konsentrasi lagi. *** *** ***
Belakangan ini, aku memang merasakan ada yang aneh dengan diriku. Entah kenapa, kalau ada pembagian kelompok saat belajar, aku selalu berharap bisa satu kelompok dengan Akbar. Seminggu yang lalu, ketika Akbar sakit dan ga' masuk sekolah 2 hari, aku juga merasa ada yang hilang. Suasana agak berbeda dari biasanya, aku juga yang paling rajin nanyain kabar dia sama Putra. Aku lagi-lagi kepikiran pertanyaan teman-temanku beberapa waktu lalu, benar ga' sech kalau sebenarnya aku suka atau naksir sama Akbar? Tapi, apa alasannya? Toh, selama ini kami bergaul seperti adanya teman-teman yang lain.
Walaupun sebenarnya, anak-anak sekelas udah mulai curiga dengan sikapku yang suka aneh. Apalagi ketika suatu waktu, ketika salah seorang senior kami bernama Intan lewat di depan kelas. Akbar tiba-tiba nyeletuk, "Wah, manis banget tu senior kita, udah punya pacar belum ya?". Aku pun langsung jawab, "Ngapain kamu nanyain dia?", ujarku. "Ya, kalau belum punya pacar, aku khan bisa daftar dan punya peluang. Ga' apa-apa lah meskipun senior, tapi khan manis," ujarnya sambil tersenyum.
Aku tidak membalas pernyataan dia, aku hanya diam sambil berkomentar dalam hati. Kenapa sech dia suka sama yang lebih tua? Lagian, Intan ga' kenal pun sama Akbar. Saat itu, aku merasa kesal dan berusaha untuk menghindari Akbar karena sebuah alasan yang akupun sulit untuk menjelaskan. Di sinilah, anak-anak sekelas mulai iseng menggodaku.Memang, saat itu lagi tidak ada guru.
"Kok cemberut aja Stev? Cemburu ya?," goda Ben. "Apa sech Ben? ngapain juga aku cemburu, jangan bikin gosip dech?, jawabku sambil memasang buka BETE sama cowok kutu buku ini. Tak cukup hanya Ben yang menggodaku, anak-anak lain yang biasanya cuek juga ikut-ikutan. Salah satunya Afni, gadis fanatik bollywood ini juga sudah berani usil. "Ce ileh, Stev. Jangan boong lah, kalau cemburu bilang aja," ujarnya. Aku malas untuk meladeninya dan memilih diam sambil pura-pura menulis pesan di handphone ku. You know, apa tanggapan Akbar? Dia malah senyum-senyum dan tertawa ringan.
Ugh, aku benar-benar kesal saat itu. Parahnya lagi, ketika Putra dan Budi menempelkan secarik kertas di whiteboard dan berusaha untuk menarik perhatian anak-anak sekelas untuk melihatnya. Tak kusangka, ternyata mereka membuat gambar dan cerita tentangku. Aku yang tahu hal itu, langsung menuju mereka dan membuka paksa kertas tersebut. Dengan wajah kesal, marah, emosi dan hampir menangis aku merobek dan membuang kertas itu ke dalam tong sampah. Aku benar-benar merasa kacau balau. Apalagi Akbar hanya tersenyum dan ikut-ikutan mengusiliku.
Sejak saat itu, aku mulai menjaga jarak dengan Akbar, jadi agak pendiam dan berusaha untuk lebih konsentrasi ke hal-hal lain. Hingga akhir semester pertama pun tiba. Saatnya ujian fokus belajar, karena sebentar lagi akan ujian dan aku harus meraih prestasi terbaik di kelasku. Apalagi, sainganku lumayan berat, susah untuk menerka-nerka siapa yang akan jadi juara kelas. *** ***
Ujian akhir semester, sudah berlalu dan aku merasa agak sedikit lega, karena satu tantangan sudah dilewati dengan perjuangan yang lumayan panjang. Namun, masih ada satu hal lagi yang membuatku masih deg-degan, apalagi kalau bukan saat pembagian hasil belajar satu semester alias pembagian rapor. Tapi, kalau berdasarkan feeling, aku yakin bahwa nilaiku berada di posisi aman. Ternyata, feelingku tepat. Meskipun tidak jadi juara kelas, tapi aku masuk lima mahasiswa terbaik. Sudah kuduga, Putra lah yang jadi sang bintang kelas, disusul Ben dan Martha. Meskipun begitu, aku bertekad untuk menjadi lebih baik di semester depan atau setidaknya aku bisa mempertahankan prestasiku ini. Tentu saja, kebahagiaan semakin bertambah dengan masa liburan 2 minggu ke depan. Walaupun belum ada planning apa-apa, tapi aku sudah merencanakan untuk benar-benar memanfaatkan liburan ini semaksimal mungkin. Aku ingin refreshing dan menjauhkan diri sejenak dari segala macam jenis mata pelajaran yang biasa aku "gauli" setiap hari. *** ***
2 minggu telah berlalu, kemarin siang aku baru pulang dari tempat tanteku di sebuah desa nan asri dan penuh dengan pemandangan indah dan alami. Ya, ini adalah tempat liburan favoritku, karena suasana desanya yang masih alami, dan benar-benar bisa membuat stres dan kejenuhanku hilang total. Aku pun mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman berharga setiap kali ke sini. Pekerjaan yang tak biasanya kulakukan pun, aku jalani di sini. Mulai dari menanam padi, memetik cabe, memanen sayuran, memberi pupuk bawang hingga mengolah gula merah aku lakukan.
Meskipun belum terbiasa, tapi aku merasakan kepuasan batin yang luar biasa, karena aku berada di lingkungan alami dan jauh dari berisik kendaraan atau polusi udara. Mandi ke sungai pun aku gemari karena bisa berbaur dengan anak-anak desa lainnya. Sungguh, liburan yang tak pernah akan terlupakan sampai kapanpun. *** ***
Suasana di sekolah, sama seperti awal semester 6 bulan lalu. Tapi bedanya, kami tentu saja sudah saling mengenal bahkan bersahabat. Berbagai cerita pun siap untuk saling ditukarkan. Tapi, aku merasa ada yang kurang dari jumlah siswa di kelasku. Ada 1 orang yang ga' hadir. Oh, tidak. Ternyata nama yang belum menandatanagi absen adalah Akbar Alfarizi. Hmm, kemana lagi si jagoan futsal itu? Kenapa keadaannya sama seperti enam bulan lalu? Tapi, aku tidak begitu penasaran, karena aku berpikir bahwa ia ikut Kejurnas lagi. Tapi, masa' iya Kejurnas sampai dua kali dalam setahun?
Entahlah, yang jelas kali ini aku tidak sebegitu penasarannya dan aku juga tidak mau mencari tahu dengan bertanya ke yang lain. Aku sudah cukup kapok dengan kejadian semester lalu. Tapi, belum selesai aku berpikir dan mencari jawaban, Putra tiba-tiba menghampiriku. "Hai Stev, apa kabar? 2 minggu ne kita ga' ketemu. Gimana liburannya?" ujarnya memborong pertanyaan.
"Hai Put, aku alhamdulillah baik, liburannya juga sangat menyenangkan. Kamu sendiri gimana?" tanyaku balik. "Ya, hampir samalah kaya' kamu," jawabnya singkat. "O, iya, Akbar titip salam untuk kamu," ujarnya lagi. "O, ya? tumben, salam balik dech. Eh, emang dia kemana? kok aku ga' liat dia dari tadi?", tukasku.
"Lho, masa' kamu ga' tahu kalau dia udah ga' sekolah di sini lagi," jawab Putra. Aku langsung kaget dan bertanya balik. "Maksud kamu apa Put?".
"Iya, Akbar pindah sekolah ke kota lain, ikut orang tuanya pindah tugas. Masa' kamu ga' tahu?" balasnya. "Suer, aku benar-benar baru tahu sekarang," jawabku. Aku benar-benar ga' percaya dan masih bertanya-tanya akan kebenaran hal ini.
Tapi, Putra ga' bohong, karena teman-teman yang lain juga mengatakan hal yang sama. Ironisnya, aku adalah siswa terakhir yang mengetahui hal ini. Setidaknya, ini tersirat dari sikap teman-temanku. Saat itu, aku benar-benar merasa ada yang hilang. Aku tak 'kan lagi melihat senyuman dan keusilan Akbar. Aku juga tak 'kan lagi mendengarkan suara bassnya yang suka nyanyi-nyanyi sendiri kalau lagi happy ataupun keisengan dia yang suka mengagetkanku.
Hm, aku benar-benar sedih waktu itu. Lama aku berpikir dan berusaha menyelami batinku sendiri, apa yang sebenarnya kurasakan dan kupikirkan saat ini. Sampai akhirnya, aku benar-benar menyadari bahwa perasaan itu memang ada. Aku merasa kalau aku menyukainya, tapi aku ga' berani bilang sayang atau cinta karena aku masih sadar dengan usiaku yang 2 bulan lagi baru genap 15 tahun. Tapi, aku berani mengatakan kalau ia mungkin adalah "First Love" ku. Istilah anak muda sekarang, cinta pertama. Entahlah, apakah ini benar atau hanya perasaanku yang tak menentu saja.
Satu hal yang pasti saat itu adalah aku benar-benar merasa kehilangan seseorang yang selama beberapa bulan ini berhasil membuatku tersenyum dengan segala tingkah dan keusilannya. Dalam perasaan seperti ini, aku berusaha untuk membangkitkan memoriku untuk mengingat-ingat setiap bagian kisah yang pernah kulewati dengannya. Mulai dari keusilan dia yang suka mengagetkanku, meminjam catatanku yang dikenal paling rapi di kelas, meminta contekan jawaban setiap pelajaran Bahasa Inggris dan Kimia, menggodaku dengan nyanyian-nyanyian ngaconya, dan masih banyak lagi keusilan yang pernah ia lakukan.
Dengan keusilan itu pulalah, ia berhasil membuat se-antero kelas percaya kalau aku menyukainya. Aku masih ingat dengan persis, ketika berantam kecil di saat jam istirahat pertama beberapa hari menjelang ujian akhir semester. Ia menyembunyikan catatan Kimiaku. Padahal, hari itu ada pemeriksaan catatan. Hal yang sudah sangat lumrah dilakukan semua guru setiap akan memasuki masa ujian akhir semester. Aku sudah panik dan hampir menangis karena kehilangan catatan. Bahkan, aku hampir saja berniat pura-pura sakit demi menghindari omelan Bu Laura yang akan masuk 15 menit lagi.
"Diperiksa lagi dech Stev tas kamu, mana tau nyelip," ujar Ria mencoba menenangkanku. Aslinya, aku bukanlah tipe orang yang mudah panik, aku selalu menghadapi setiap jenis keadaan dengan tenang dan menarik nafas panjang. Tapi, saat itu, aku berada dalam keadaan yang berbeda, apalagi catatanku masih belum lengkap, ada beberapa materi yang belum kurapikan.
"Aku udah bongkar isi tas dan mencari kemana-mana. Mulai dari laci kita, laci teman-teman sampai laci guru pun udah aku periksa, tapi tetap ga' ada. Padahal, tadi pagi aku mengeluarkan catatan itu dan menaroknya di laci," jelasku pada Ria yang saat itu ikut membantuku menemukan catatan Kimia. Awalnya, aku tidak mencurigai siapapun yang mungkin sedang mengerjaiku, karena hari itu bukanlah april mop ataupun ulang tahunku. Tapi, saat aku lihat Akbat tersenyum-senyum simpul, hatiku langsung berkata lain. Aku yakin, dia mengetahui keberadaan catatanku.
"Akbar, kamu kan yang menyembunyikan catatanku. Cepat kembalikan, aku mau merapikannya," ketusku padanya.
"Lho, kok kamu nuduh aku sech? Emangnya ada bukti?" jawabnya santai. Ia melanjutkan dengan mengeluarkan isi tasnya dan memperlihatkan laci mejanya.
"Tuh, kan non, ga' ada catatan atas nama Amanda Stevany?", lanjutnya seolah meyakinkanku kalau bukan ia pelakunya. Tapi, aku tetap ga' percaya. Aku hampir menangis dan hanya duduk di bangkuku. "Udah dech, Bar. Kembaliin aja catatan Stevy. Kasihan tu, dia udah mau nangis," sela Vita tiba-tiba yang spontan mengagetkanku.
"Vita, kamu tahu kalau Akbar yang menyembunyikan catatanku?" tanyaku langsung. "Iya Stev, tadi waktu kamu ke toilet bareng Ria, Akbar mengambil catatan dari laci kamu dan menyembunyikannya di locker kelas," terang Vita sambil melirik ke arah Akbar.
Si jagoan futsal itu terlihat agak kesal dengan Vita. "Vit, kamu kok gitu sech? Ga' kompak tau!," ujarnya settengah kesal sama Vita. "Akbar, kamu benar-benar nyebelin tau ga’? Cepat kembalikan catatanku atau aku akan merobek semua buku yang ada di dalam tas kamu," teriakku padanya yang spontan membuat suasana kelas yang tadinya agak riuh menjadi hening seketika.
"Sabar Stev, jangan marah-marah donk. Iya, aku kembalikan catatan kamu," balasnya sambil menuju locker dan mengambil catatanku. "Sorry, aku cuma bercanda dan ga' ada maksud serius," ujarnya pelan.
"Ga' ada sorry-sorry an. Kamu udah keterlaluan, aku benar-benar kesal sama kamu," jawabku tanpa menatap mukanya. Locker. Ya, aku lupa memeriksa locker. Lima menit kemudian, aku sudah agak tenang, tetapi aku batal merapikan catatan, karena sudah kehilangan mood.
"Stev, aku benar-benar minta maaf ya. Aku janji ga' akan mengulanginya lagi, aku cuma pengen bercanda aja sama kamu," ujar Akbar yang sekali lagi meminta maaf padaku. Kali ini aku agak tenang menanggapinya.
"Kamu itu kelewatan tau ga’? Bercanda kamu basi dan ga' pada tempatnya. Aku belum pernah nemuin cowok se-usil dan keterlaluan seperti kamu," jawabku.
"Tapi, kamu tetap suka kan sama aku?" balasnya menggodaku sambil tersenyum. Tak pernah kubayangkan ia akan melontarkan pertanyaan itu. Memang dasar cowok yang satu ini, masih sempat-sempatnya ia menggodaku.
"Ugh, GE ER amat sech. Emang siapa yang suka sama kamu?" tukasku dengan nada agak tinggi. Lagi-lagi banyak yang mendengar omonganku. "Hati-hati, Stev. Ntar kualat lho dan kamu beneran suka sama Akbar," celetuk Genta yang diiringi tertawa ringan anak-anak yang lain.
Muka ku benar-benar memerah. Rasa kesal, marah, sedih bahkan malu berbaur menjadi satu. Tapi, aku tidak sanggup untuk mengeluarkan sepatah katapun saat itu. *** *** *** *** ***
Sekarang, keusilan dan kejahilan si jagoan futsal tak 'kan kurasakan lagi. Aku seharusnya senang dan merasa nyaman karena terbebas dari segala kekesalan terhadap makhluk langka yang pernah kuajak balapan lari saat pemanasan olahraga. Tapi, entah mengapa aku justru merindukan suasana itu. Aku ingin kembali melihat senyumnya, nyanyiannya bahkan merindukan keusilannya.
"Stev, kamu lagi mikirin Akbar ya?" tanya Martha suatu ketika padaku. "Hm, ga' kok. Ngapain juga aku mikirin dia," jawabku. "Kamu mungkin bisa bohong, tapi mata kamu selalu jujur," balas Martha. Ya, aku memang bohong saat itu, aku ga' mau Martha ataupun yang lain tahu bahwa ternyata aku sangat menyukai Akbar.
"Terkadang, kita baru menyadari bahwa kita menyukai atau menyayangi seseorang, ketika ia sudah jauh dan tidak lagi di samping kita," lanjut Martha berfilosofi. Aku hanya diam sambil menyelami makna kalimat indah itu.
"Stev, sebenarnya aku sudah lama tahu kalau kamu suka sama Akbar. Bukan cuma aku, anak-anak yang lain juga. Vita, Ria, Anti, Lusi, Tari, Ben, Putra, Budi dan Dewi juga tahu kok. Tapi, kami pura-pura cuek, soalnya kami takut kamu akan marah," jelas Martha panjang lebar.
Aku benar-benar kaget mendengarnya. "Serius Mar? Kamu ga' lagi menghafal naskah drama kita kan?" tanyaku setengah kaget.
"Ngapain juga aku bohong sama kamu. Tanya aja sama yang lain kalau kamu ga' percaya," balasnya. "Terus, apa Akbar juga tahu?" tanyaku lagi.
"Kalau itu, aku ga' tahu pasti. Coba aja tanya Putra atau Ben. Kan mereka akrab banget bertiga," jawab sahabat karibku ini.
Ya Allah, ternyata selama ini aku benar-benar bodoh, pura-pura cuek dan gengsi dengan perasaanku dan selalu marah tiap kali diisengin tentang Akbar. Padahal, teman-teman terbaikku itu sudah lama mengetahuinya. Walaupun aku bingung, darimana mereka mengetahuinya. Aku kan cuma curhat sama diary kesayangannku dan ga' pernah sedetikpun lepas dari genggamanku. *** *** ***
"Aku ga' tahu Stev, Akbar tahu atau ga' soal perasaan kamu," jawab Putra saat aku menanyakan tentang Akbar. "Tapi yang pasti, dia pernah nanya sama aku tentang perasaan kamu sama dia", lanjutnya.
"Trus, kamu bilang apa?" balasku. "Aku bilang aja kalau aku ga' tahu, walaupun sebenarnya aku tahu kalau kamu suka sama dia," balas Putra. Aku menarik nafas panjang dan memilih diam untuk beberapa saat.
"Udahlah Stev, jangan terlalu dipikirin. Masih banyak waktu untuk bisa ketemu sama dia lagi. Lagian, dia kan cuma pindah ke luar kota yang masih satu propinsi sama kita. Kecuali, kalau dia pindah ke luar negeri," lanjut Putra. Putra memang benar. Tapi, aku merasa kalau aku tak 'kan bertemu lagi dengannya. Kalaupun kami akan bertemu, keadaannya sudah sangat jauh berbeda. Mungkin saja aku tak lagi mengenalinya dan sebaliknya. Ya, aku memang masih terlalu muda untuk begitu serius memaknai persoalan ini. Tapi, aku juga tiddak bisa membohongi perasaanku, bahwa aku benar-benar merasa kehilangan dan ingin kembali merasakan keusilannya. *** *** *** *** ***
Suasana hari-hari pertama semester kedua berjalan lancar dan ga' ada yang spesial. Aku juga berusaha untuk bisa melupakan semua cerita tentang Akbar. Untuk beberapa waktu aku berhasil melakukannya. Sampai suatu ketika, saat pelajaran Bahasa Indonesia, ada tugas mengarang dari Pak Gatot.
"Silahkan, kalian buat sebuah karangan bebas yang sesuai dengan pengalaman kalian masing-masing. Panjangnya minimal 1 helai kertas double folio," ujar Pria paruh baya yang kami juluki Gatotkoco ini. Hmm, aku agak bingung harus mengambil tema apa. Soalnya, ada begitu banyak pengalaman dalam hidupku yang mungkin bisa melebihi 10 helai kertas double folio, jika dituliskan ke dalam sebuah karangan.
"Kalian buat tentang apa?" tanyaku pada Lusi dan Anti. "Belum tau," jawab Anti. Sementara Lusi hanya menggeleng tanpa makna. "Kamu sendiri?" tanya Anti balik bertanya. "Ga' tahu nech, bingung juga," jawabku.
"Hm, kenapa ga' nulis tentang kamu dan Akbar aja?" celetuk Lusi memberikan ide yang menurutku konyol untuk saat itu. "Apa? aku dan Akbar?" tanyaku balik.
"Ya, maksud aku kamu ceritakan aja tentang kejahilan dia sama kamu, trus kamu pernah berantam sama dia. Kalau soal perasaan kamu ke dia, ga' usah diceritain dech. Kecuali kalau kamu mau," lanjut Lusi. "It's Bad Idea," jawabku singkat sambil berlalu.
Aku sebenarnya kesal, tapi aku pikir usulan Lusi ga' jelek-jelek amat. Ada bagusnya juga untuk aku coba. Tapi, aku harus mulai dari mana? Apalagi, aku ingin benar-benar melupakan sosok dia dari pikiranku. Suer, aku seakan kembali ke semester pertama begitu mengingat-ingat kisah kami. Akbar. Ternyata, aku sulit untuk melupakan nama dan orangnya. Tapi, baiklah aku akan menerapkan usulan Lusi.
Aku lupa dari mana aku memulai karangan ketika itu. Namun, satu hal yang pasti, aku begitu serius membuat karangan dan seakan tak ada celah untuk menyempatkan diri ngobrol atau bercanda dengan yang lain, seperti yang dilakukan teman-temanku. Bahkan, Pak Gatot yang sejak awal memperhatikanku pun, aku tak menyadarinya.
"Kamu serius sekali, sepertinya pengalaman kamu sangat berharga dan menarik untuk dijadikan sebuah karangan,". Ucapan Pak Gatot tiba-tiba mengagetkanku, hampir sama kagetnya ketika aku pernah dikagetkan Akbar saat menulis puisi. Yah, lagi-lagi sesuatu kejadian yang mengingatkanku dengan cowok langka itu. Memang, dia paling hobi mengagetkan orang dan akulah yang paling sering jadi korbannya.
"Eh, Bapak. Iya, pak. Saya memang harus serius dan konsentrasi, soalnya saya suka buntu di tengah jalan, kalau mengarang. Apalagi, kalau harus menggambarkan suasana sedetail mungkin," jawabku sembari tersenyum.
"Ya, cara yang bagus, tapi jangan terlalu serius, yang namanya karangan tidak semuanya fakta, kamu boleh-boleh saja menambahkan imajinasi kamu. Penilaian utama saya adalah jalan cerita dari awal sampai akhir dan eksplorasi kata-kata yang menarik dan inovatif," balas Pak Gatot.
"Baik, Pak. Terima kasih atas masukan dan penjelasannya," jawabku. Ia lalu mempersilakanku untuk melanjutkan karanganku yang masih terbengkalai. Waktunya masih sangat lama, ada sekitar 90 menit lagi. Mungkin, bagi yang lain itu mengarang adalah membosankan, tapi tidak bagiku. Apa saja, bisa aku jadikan karangan. Hanya saja, rasa malas lah yang terkadang jadi penghalangku untuk menyalurkan hobi menulis ku itu. Aku kembali fokus ke karangannku. Aku berusaha merangkai kata-kata seindah dan semenarik mungkin agar siapapun yang membacannya nanti menjadi puas.
Ya, bukan hanya Pak Gatot yang dipastikan membacanya, tapi juga lima temanku yang lain. Bagi Pak Gatot, setiap hasil karya siswa seperti karangan, puisi, naskah drama dan lain sebagainya akan selalu diperlihatkan ke lima siswa lain yang ia pilih sesuka hatinya. Artinya, sudah pasti hasil karanganku akan dinikmati juga oleh lima temanku yang sama sekali tak aku ketahui siapa mereka. Sesekali, aku mnecoba untuk berpikir dan mengingat berbagai kejadian yang menarik untuk dituliskan. Aku juga menyempatkan diri untuk bergurau dan melirik-lirik hasil karangan Vita, Lusi dan Martha yang duduk dekat denganku. Kali ini, aku memang lebih santai.
"Udah sampai mana Lus?" tanyaku pada Lusi yang saat itu sedang membaca ulang karangannya. "Mm? baru setengah bagian dari cerita yang sebenarnya," sahutnya singkat. "Jadinya, kamu nulis tentang apa?" tanyaku lagi.
"Berhubung aku ga' berbakat jadi penulis kaya' kamu, makanya aku mengarang indah tentang pengalaman liburan kemarin ke tempat nenekku di kampung," jawabnya. "O, ya udah dech, dilanjutin nulisnya," balasku. Sementara itu, anak-anak yang lain terlihat serius dengan karangan mereka masing-masing. Sedangkan Pak Gatot, sibuk memeriksa catatan yang kami kumpulkan pas di awal jam pelajaran tadi. *** ***
"Waktunya masih ada 30 menit lagi. Tapi, jika sudah ada yang selesai mengarang, boleh dikumpulkan dan silakan duluan istirahat," seru Pak Gatot. Hm, karangannku sudah lumayan panjang, namun aku bingung harus mengakhirinya di mana. Aku tak tahu, bagaimana ending yang bagus untuk cerita yang kurangkai ini. Apakah harus kutuliskan jika Akbar adalah sosok yang akan selalu kukenang? atau menuliskan kesedihanku saat tahu bahwa Akbar sudah pindah sekolah? Atau mungkin, berimajinasi sendiri seakan-akan ending bahagialah yang terjadi antara aku dan Akbar. Entahlah, aku bingung dan tak tahu apa yang harus kutuliskan. Kalaupun harus bertanya pada teman-teman, sudah aku pastikan tak seorang pun yang tahu atau memberikan ide terbaik. Apalagi jika harus bertanya pada Mr. Gatotkoco, sebuah usaha yang sia-sia. Akhirnya, aku menuliskan untaian kalimat di paragraf terakhir. "Kisah ini sudah dimulai, sedang berjalan dan akan segera berakhir. Tetapi, akhir dari kisah penuh tanya ini adalah sebuah rahasia yang hanya bisa diungkap oleh waktu dan takdir. Tak seorang pun yang mampu menjawab berbagai pertanyaan misterius dalam kisah ini. Bahkan penulis sekalipun."
Itulah kalimat terakhir dalam karangannku. Aku tak tahu, apakah Pak Gatot yang dikenal sebagai ahli bahasa dan sastra, menilai baik atau buruk karanganku, khususnya untaian kalimat dalam paragraf terakhir. Hanya satu keyakinanku, karangan itu adalah tulisan terindah yang pernah kubuat. Besok, aku akan segera tahu, bagaimana penilaian Pak Gatot akan karangannku. Lima orang temanku yang nantinya akan membaca karanganku masih belum aku ketahui. Tapi, aku tak terlalu meusingkan hal itu. Siapapun mereka, tetap Pak Gatot yang punya hak veto untuk menilai, sementara mereka hanya memberi komentar dan masukan saja. *** ***
"Stev, gimana tadi karangan kamu?" tanya Ben saat jam istirahat. Sambil berbarengan berjalan ke kantin, aku pun menjawab singkat, "Lancar". Ben hanya mengerutkan dahi, namun ia tak bicara apa-apa. Tapi, aku tahu bahwa ia sama sekali tidak mengerti dengan makna jawabanku. Aku memang tidak mau berbicara banyak tentang karanganku kepada teman-teman.
Tidak seperti halnya Genta, Erick, Fadli, Mira, Shinta, Niken dan Putra yang saling tertawa mengomentari karangan masing-masing. Begitu pula dengan yang lain, mereka sibuk dengan suasana saling bercerita isi karangan. Entahlah, aku tidak bisa seperti mereka. Anggap saja, aku memberikan surprise untuk mereka. Aku hanya berharap, karanganku bisa menjadi yang terbaik, minimal tidak banyak koreksi lah. Hmm, mudah-mudahan saja, amin. *** *** ***
Jam pelajaran pertama hari ini adalah Matematika yang merupakan mata pelajaran nomor satu dalam daftar mata pelajaran yang dibenci. Syukurlah gurunya sangat baik, lucu dan mengerti akan keinginan muridnya. jadi, ia punya tersendiri untuk mengajarkan setiap materi sehingga kejenuhan pun setidaknya bisa diminimalisir. Namanya, Ibu Darna, guru yang semester lalu, menjadi guru favorit. Ya, sekolahku setiap semester selalu mengadakan polling siswa untuk mencari guru terbaik, guru idola, guru favorit dan guru kebanggaan. Tiga kategori terakhir sebenarnya tidak jauh berbeda, tapi ini sudah turun temurun sejak angkatan pertama sekolah ini, hampir 30 tahun. Jadi, tidak ada yang berani merubahnya, bahkan Pak Yusuf Effendi, sang Kepala Sekolah sekalipun.
Tidak ada tugas ataupun pekerjaan rumah dalam pertemuan kali ini. Kami hanya membahas soal dan mengulang-ngulang materi dua hari yang lalu. Sebentar lagi, akan masuk si Gatotkoco dan ini tentu saja membuatku harap-harap cemas.
"Selamat siang, semuanya," ujarnya saat memasuki kelas. Kami pun serempak menjawab salamnya. Seperti dugaanku, ia akan segera mengumumkan karangan terbaik. "Sebelum saya mengumumkan karangan yang terbaik, saya akan menyebutkan lima nama yang akan membaca dan mengomentari karangan ini. Sedangkan untuk karangan yang lain, nama-namanya sudah saya tuliskan di karangan kalian masing-masing. Jadi, nanti digilir saja membacanya. Baiklah, untuk karangan terbaik ini akan diomentari oleh Shinta, Ben, Tari, Vita dan Erick," papar Pak Gatot panjang lebar. Hm, namaku tidak tersebut, artinya aku berpeluang menjadi yang terbaik.
Pak Gatot melanjutkan pembicaraannya dengan memberi tahu judul karangan terbaik. "Karangan terbaik kali ini adalah karangan yang berjudul "Rahasia Dua Hati",'' ujarnya lantang yang disambut tepukan dan sorakan satu kelas. Aku langsung terhenyak mendengar judul itu. Cuma aku yang punya judul itu, karena setiap siswa mempunyai judul berbeda. Aku pun langsung tersenyum dan mengucap syukur.
"Karangan ini penuh makna dan sarat akan arti persahabatan, kehidupan dan cinta," lanjut Pak Gatot. Aku merasa tersanjung dan tersipu mendengar ucapan Pak Gatot. Ya, aku berterima kasih kepada Lusi yang memberikan ide untuk menuliskan kisahku dengan Akbar dan yang lainnya. Andai saja, aku mencari topik lain, belum tentu aku merasakan kebahagiaan ini. Akbar. Lagi-lagi, nama itu yang terlintas di pikiranku. Kini, aku semakin menyadari, bahwa aku kehilangan seseorang yang berarti. *** ***
Waktu pun terus berlalu, hingga lagi-lagi kami akan menghadapi ujian akhir semester kedua yang sekaligus pertanda kenaikan kelas. Saatnya, untuk kembali fokus dan konsentrasi belajar demi hasil yang terbaik. Setidaknya, aku bisa mempertahan prestasiku semester lalu. Ya, mudah-mudahan aku bisa menggantikan posisi Putra. Amin.
"Stev, ntar kompakan ya ujiannya," ujar Martha padaku. "Beres buk," jawabku singkat sambil tertawa ringan. Selain Martha, ada beberapa siswa lain yang melontarkan kalimat senada padaku. Aku senang, karena mereka menganggapku salah satu bintang kelas, khususnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Biologi. Tapi, kalau Matematika dan Fisika, lebih tepat kalau minta contekan sama Putra atau Ben. Dijamin dech, jawaban ujian akan benar semua.
Mereka memang dikenal pakar angka-angka di kelas kami, nyaris setiap soal mereka selesaikan dengan cepat dan tepat. Tapi, kalau urusan mengarang, menganalisa, diskusi atau menghafal, kemampuan mereka masih di bawah aku. Jadi, aku boleh donk sedikit berbangga hati. (Back to).
Hari-hari ujian akhir semester kami lewati tanpa halangan yang berarti. Soal-soal yang harus kami selesaikan dalam batas waktu tertentu pun, tidaklah begitu sulit. Tapi tetap saja, kalau sudah berurusan dengan angka-angka, mau tidak mau dan suka tidak suka aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa melirik jawaban Ben yang duduk di depanku atau Putra yang persis di sampingku. Sebenarnya bukan cuma aku, anak-anak yang lain pun melakukan hal serupa. Bahkan ada yang nekad memanggil Ben dengan nada tinggi.Syukurlah, waktu itu pengawas kami sedang menerima telepon di luar kelas, jadi ia tidak tahu akan hal ini. *** ***
Seminggu sudah berlalu, kami pun sedikit bernafas lega karena satu tantangan sudah berhasil dilewati. Tiga hari lagi adalah waktu pembagian rapor, tentu saja hati ini masih harap-harap cemas. Tapi, seperti biasanya, aku selalu berusaha untuk yakin bahwa aku sudah berbuat yang terbaik dan insyaallah akan mendapatkan hasil yang baik pula. Ya, mudah-mudahan saja. Amin. Waktu tiga hari ini diisi dengan kegiatan classmeeting. Biasalah, sebuah rutinitas semester untuk mengakrabkan siswa antar kelas dan tingkatan. Kegiatan utamanya yaitu kompetisi olahraga. Di sekolahku ada 8 olahraga yang tak pernah absen digelar.
Khusus siswa laki-laki ada pilihan olahraga Sepakbola dan futsal. Olahraga yang sebenarnya sama saja menurutku, tapi dengan alasan tertentu, pihak sekolah tetap memisahkan dua jenis olahraga ini. Khusus siswa perempuan ada pilihan olahraga volli dan tenis meja. Sedangkan olahraga Basket, Badminton, Karate dan Senam lantai bisa diikuti oleh semua siswa, artinya tidak ada pembedaan antara murid laki-laki dan perempuan. Setiap siswa diwajibkan memilih satu jenis olahraga utama dan dua olahraga pilihan.
Aku yang pernah bercita-cita menjadi atlit Badminton, tentu saja menjadikan olahraga tepok bulu ini sebagai olahraga utama. Sedangkan Volli dan Senam lantai menjadi olahraga pilihanku. Hari pertama classmeeting, ada pertandingan futsal dan basket antar kelas. Untuk Basket, kelas kami sudah tidak diragukan lagi. Jelas saja, karena baik putra ataupun putri, bintang-bintang lapangan Basket ada di kelas kami. Namun, tidak demikian dengan Futsal, kami punya saingan berat yaitu kelas 2.C. Ini bukan karena mereka senior, tetapi karena memang di sanalah para jagoan futsal berkumpul. Sementara di kelas kami, hanya dua orang memilih olahraga ini. Rata-rata siswa laki-laki lebih memilih Sepakbola sebagai olahraga utama.
Hasilnya adalah, pas di final kelas kami harus puas dengan skor akhir 5-4. Ya, selisih satu angka itulah yang membuat kami hanya jadi runner up.
"Hm, coba kalau ada Akbar, aku yakin kita bisa menang," keluh Erick seusai pertandingan. Aku langsung melihat ke arahnya seketika. Ya, lagi-lagi nama itu yang kudengar. Akbar. Tapi, aku tak berkomentar apa-apa.
"Iya, kalau ada Akbar, pasti permainan kita lebih bagus dan lebih hebat. Dia kan jagoan futsal, apalagi udah ikut kejurnas. Tapi sayang, dia ga' di sini lagi," sambung Budi. Kali ini aku berkomentar.
"Sebenarnya, menang atau kalahnya kita, bukan tergantung sama ada atau tidaknya Akbar. Tapi, karena memang di kelas kita cuma kalian berdua yang memilih futsal. Jadi yang handal itu cuma kalian berdua. Kalau lawan kita itu, memang semuanya pakar futsal," jelasku panjang lebar.
"Tapi tetap aja, Akbar itu bisa jadi salah satu andalan kita," balas Budi. Sejenak aku berpikir, pendapat kedua temanku ini ada benarnya juga. ***
Kini tiba saatnya hari pembagian rapor. Kami semua sudah pasti deg-degan. "Aku yakin, kamu jadi juara 1 lagi," ujar Lusi pada Putra. "Iya, setuju," sambung Anti. Putra hanya tersenyum dan menjawab apa-apa. Kali ini, yang mengambil rapor adalah orang tua, karena ini adalah moment kenaikan kelas. Berbeda dengan semester lalu, yang boleh diambil sendiri oleh siswa.
"Sepertinya, rapat antara para guru dan orang tua murid sudah selesai. Sebentar lagi akan diumumkan nech, para juara kelas," ujar Ria lima menit kemudian. Kami semua melihat ke arah ruang rapat. Memang betul, rapat sudah usai dan semua yang hadir dalam ruangan itu menuju ke halaman sekolah. Pak Kardi selaku wakil kepala sekolah bagian kesiswaan sudah bersiap-siap akan mengumumkan para juara dari masing-masing kelas. Akhirnya, tibalah giliran kelas 1.B yang tak lain adalah kelasku.
"Untuk kelas 1.B, Juara pertama diraih oleh Ben, juara kedua adalah Stevy dan juara ketiga Putra. Untuk harapan satu dan dua, masing-masing diraih oleh Dewi dan Martha," seru Pak Kardi yang disambut sorakan dan tepukan oleh semua yang hadir. Aku seakan tak percaya mendengar pengumuman itu. Namaku berada di urutan kedua yang terbaik di kelas. Sesuatu yang tak pernah kuduga dan kusangka sebelumnya. Tapi, alhamdulillah, aku senang dan bahagia mendengarnya. Teman-temanku pun bergantian memberikan selamat kepada kami secara bergantian.
"Wah, kamu berhasil ngalahin aku. Kamu hebat Stev," ujar Putra. "Hm, biasa aja Put. Inikan cuma peringkat kelas, buat aku kamu tetap siswa yang terbaik di kelas, karena selain aktif, kamu juga jago angka-angka, hehehe," balasku yang ditanggapi hanya dengan senyuman oleh Putra. Setelah semuanya diumumkan, Pak Kardi mempersilakan para orang tua murid memasuki kelas anaknya masing-masing. Hanya orang tua yang boleh memasuki ruang kelas, sedangkan kami hanya diperbolehkan menunggu di luar kelas.
Pembagian rapor dimulai dari nama-nama yang tadi dimumukan. Otomatis, Bundaku yang menjadi giliran kedua yang mengambil rapor dari Pak Afdal, sang wali kelas. "Terima kasih, Pak," ujar Bunda sambil bersalaman dengan Pak Afdal. "Sama-sama buk," sahutnya. Karena di rumah pamanku sedang ada acara, maka aku diajak pulang cepat. Padahal, sebenarnya aku masih ingin bersama teman-temanku.
"Teman-teman, duluan ya. Sampai ketemu di kelas 2," pamitku pada mereka. Ya, alhamdulillah, kami semua naik ke kelas 2. Sayang, kami harus dipisah, karena hanya 5 siswa terbaik yang satu kelas di kelas dua. Otomatis, hanya aku, Putra, Ben, Dewi dan Martha. Sedangkan yang lain akan berpencar-pencar sesuai dengan ketetapan pihak sekolah. ***
Malam harinya, waktu menunjukkan pukul 19.40 menit. Aku baru saja pulang dari rumah paman dan langsung masuk kamar untuk istirahat. Saat itu, aku hanya berdua dengan sepupuku, karena anggota keluargaku yang lain masih di tempat paman. Acara sebenarnya sudah selesai, tapi karena mau istirahat, maka aku duluan pulang. Baru saja aku selesai ganti baju dan hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka, handphone ku berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Ternyata, itu telepon dari Martha.
"Halo, Mar, kangen ya sama aku?" ujarku sambil tertawa ringan.
"Hai Stev. Sorry ganggu, bukan aku yang kangen tapi orang lain," sahut Martha dari seberang sana. "Siapa?" tanyaku singkat.
"Jangan kaget ya, kalau aku sebut namanya," balasnya lagi.
"Please Mar, jangan bikin aku penasaran donk. Memangnya siapa yang kangen sama aku? Kenapa ga' dia aja yang nelpon aku?" ujarku mendesak Martha untuk sesegera mungkin menyebutkan satu nama.
"OK. Tadi siang, sesaat setelah kamu pulang, si jagoan futsal datang ke sekolah kita," cerita Martha.
"Apa? Jangan bercanda dech, aku udah kapok diisengin kaya' gini. Jelas-jelas dia di luar kota, mana mungkin dia bisa sampai ke sekolah kita," jawabku.
"Aku serius dan ga' bercanda sama sekali. Kalau ga' percaya, kamu boleh tanya Lusi, Vita atau Putra. Tadi, kami pulang bareng sama si jagoan futsal juga," lanjut Martha meyakinkanku.
"O, ya udah dech. Jadi, kamu cuma mau bilang itu aja?" balasku.
"Iya, sayang aja, kamu ga' sempat ketemu ma dia tadi. Ya udah dech, aku cuma mau bilang itu aja. Bye Stev," jawab Martha.
Hm, aku masih setengah percaya. Masa' sech, Akbar datang ke sekolah? Tapi, mungkin saja benar. Tiba-tiba saja aku merasa ingin bertemu dengan cowok nyebelin itu. Andai aja aku tadi ga' pulang duluan, pasti aku bisa ketemu dia. Tapi, ya sudahlah ga' ada gunanya juga aku sesali hal kecil seperti ini. Satu hal yang pasti, aku semakin menyadari, bahwa ia adalah orang yang berarti bagiku. Mungkin memang benar ia adalah 'first love" ku. Kali ini aku benar-benar yakin, walaupun bagi dia aku hanyalah seorang teman biasa. Namun, aku masih yakin, jika suatu hari aku bisa bertemu dengannya.
*** *** *** ***
Waktupun terus berlalu, banyak kisah yang aku lalui selama tiga tahun di sekolah. Ya, tanpa terasa sudah 3x365 hari aku di sekolah ini. Memang banyak cerita yang terukir di sini, salah satunya adalah ketika Vita ulang tahun 3 bulan lalu. Anak-anak lain datang dengan sudah bergandengan tangan. Ya, mereka sedang merasakan cinta monyet. Putra dengan Martha, Genta dengan Lusi, Ben dengan Dewi dan amsih banyak pasangan lain. Sementara aku, masuk ke dalam gank HQJ alias High Quality Jomblo.
Sebenarnya, kalau aku mau aku juga merasakan cinta monyet, tapi aku merasa ga' siap aja. Entahlah, aku sendiri juga bingung menjelaskannya. Andai saja Akbar ada di sini. Setidaknya, itulah yang terintas di pikiranku. Aku masih berharap bisa bertemu dengannya.
"Udahlah Stev, jangan mikirin Akbar terus. Masih banyak cowok lain di sekolah kita yang keren dan pintar," ujar Lusi suatu hari.
"Apa sech Lus, siapa juga yang mikirin Akbar," jawabku singkat tanpa ekspresi yang jelas. (Back to)
Hari ini adalah hari terakhir kami berstatus sebagai pelajar, sebentar lagi kami akan berpisah dan menempuh jalan hidup masing-masing. Status mahasiswa yang akan segera disandang, membuat hari ini menjadi sangat berarti bagi kami. Di taman sekolah, aku dan yang lain menyanyikan lagu "Ingatlah Hari Ini" milik project pop yang disambung dengan lagu "Sebuah Kisah Klasik"nya Sheila on7.
Tidak satupun diantara kami yang memilih jurusan atau universitas yang sama. Aku lebih memilih jurusan Sastra Jepang di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Putra yang bercita-cita menjadi seorang Arsitektur, memilih kuliah di ITB. Lalu, Ben dan Genta yang masing-masing memilih jurusan Astronomi dan Teknik Elektro. Sedangkan Martha, lebih menyukai mendalami ilmu Kesehatan masyarakat, begitupun Dewi yang sangat ingin menjadi seorang Ekonom.
Hm, apapun pilihan kami, itu adalah yang terbaik. Meskipun kami akan berpisah, tapi sudah saling berjanji untuk tetap menjaga komunikasi dan reunian ketika musim liburan tiba. Minimal setahun sekali, ketika lebaran Idul Fitri. *** ***
Hari pertama di kampusku, banyak yang berbeda. Jelas, semua yang aku lihat dan aku rasakan tidaklah sama ketika masih sekolah. Saat aku berjalan di koridor gedung A, aku melihat seorang cowok yang wajahnya seakan aku kenali. Tapi, aku ga' mau berspekulasi, mungkin saja aku salah orang. Aku terus berjalan menuju sebuah ruangan untuk melihat daftar nama-nama mahasiswa baru yang satu kelompok denganku saat kuliah perdana seminggu lagi. Dari sepuluh nama, ada tiga mahasiswa laki-laki yang semuanya belum aku kenal. Aku mencatat masing-masing nama dan nomor handphone yang tertera.
"Hai, kamu anak Sastra Jepang juga ya?" suara yang tiba-tiba mengagetkanku. Aku langsung melihat ke arah suara itu yang persis berasal dari sebelahku.
"Eh, iya," jawabku singkat. Saat itu, jantungku berdebar kencang. Aku seakan kembali ke masa sekolah dan bernostalgia dengan berbagai kenangan yang tak terlupakan.
"Maaf, kalau kamu kaget," sambungnya. Aku hanya tersenyum dan pikiranku masih berada di masa lalu. Tapi, itu tidak lama, aku berusaha untuk menenangkan diri. "Kamu, anak sastra Jepang juga ya?" kali ini aku yang memulai bertanya.
"Iya," jawabnya singkat. "O, iya, kenalin namaku Andri. Lengkapnya Muhammad Andri," ujarnya sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.
"Stevy," balasku singkat sambil menyambut tangannya. Hm, lagi-lagi aku merasa de javu, salaman itu seakan pernah kulakukan beberapa tahun lalu. Ya, cara bicara dan bersalamannya mirip dengan Akbar. Secara fisik juga ga' jauh berbeda, apalagi kalau dilihat dari samping. Postur yang nyaris sama. Kamipun terlibat dalam obrolan hangat, saling bertukar cerita. Suasana yang kurasakan hampir sama ketika aku awal berkenalan dengan Akbar. Entahlah, aku bingung kenapa sosok Akbar selalu ada di pikiranku. Padahal sudah lama aku tidak betemu dengannya.
"Stev, aku harus pulang duluan, ada janji sama teman," ucap Andri setelah 20 menit kami ngobrol.
"OK, sampai ketemu lagi," balasku sembari tersenyum. Hm, Akbar dan Andri adalah sosok yang berbeda. Tapi, entahlah mungkin saja ada yang sama dari mereka. *** ***
Suasana kampus sudah mulai akrab denganku, seperti halnya aku dan Andri yang semakin akrab. Walaupun kami beda kelas, tapi keakraban kami tidaklah berkurang. Aku merasa nyaman di dekat dia, selain asyik diajak ngobrol, dia juga humoris, pintar dan aktif di kampus. Itulah yang kusuka dari dia. Sampai akhirnya, di suatu sore yang mendung saat kami baru selesai mengikuti seminar. Andri mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam.
"Stev, aku suka sama kamu. Bahkan, aku sayang kamu, mau ga' kamu jadi pacar aku?" tanyanya saat itu. Aku hanya diam dan berusaha menarik nafas panjang. Sebenarnya, aku juga suka sama Andri. Tapi, aku ga' tahu kenapa aku justru terdiam saat dia mengungkapkan perasaannya. Seharusnya aku senang dan menyambut hangat perasaannya.
"Mm, maaf ya Ndri, aku ga' bisa jawab sekarang," jawabku setelah lama diam. Syukurlah, ia mengerti dan memberikan aku waktu untuk beberapa lama. Aku terus memikirkan hal ini. Di satu sisi, aku tidak ingin mengecewakan Andri karena dia sudah begitu baik dan perhatian. Apalagi aku juga mneyukainya, tapi di sisi lain ada seseorang yang membuatku harus kembali berpikir. Akbar.
Ya, lagi-lagi nama itu yang muncul di pikiranku. Aku sendiri sampai bingung apa yang membuatku tak bisa melupakannya. Namun, aku mencoba untuk realistis. Akbar adalah bagian dari cerita masa sekolah, sekarang adalah sekarang dimana Andri lah sosok yang kini ada di depanku. Hanya seminggu saja, aku dan Andri akhirnya jadian. Aku berharap, mudah-mudahan aku bisa seratus persen melupakan Akbar sebagai cinta pertamaku. Kalaupun harus mengingatnya, hanyalah sebagai bagian dari salah satu sahabat terbaik yang pernah kumiliki. *** *** ***

Sudah hampir dua tahun aku dan Andri bersama, tidak pernah ada masalah di antara kami. Namun, aku tetap tidak bisa melupakan si jagoan futsal. Apalagi, setiap kali reunian sekolah, aku benar-benar kembali ke masa lalu. Seperti reunian setahun lalu di rumah Ria.
"Stev, masih suka mikirin Akbar ga'? atau udah ada yang bisa gantiin dia?" goda Ben saat itu. Belum sempat aku menjawab, anak-anak yang lain mulai meledekku dengan berbagai macam kalimat. Akhirnya aku hanya mengeluarkan satu kata. "Masih," jawabku.
"Cieeeeeeee," sahut mereka berbarengan. Entahlah, aku pun bingung kenapa kata itu yang keluar dari mulutku. Kenapa aku ga' cerita soal Andri sama mereka. Ya, setiap kali reunian aku memang selalu jadi bahan keusilan mereka dan lagi-lagi aku tak sanggup membela diri dan berkilah. Begitupun ketika kami saling SMS-an, aku seakan tak punya jawaban untuk pertanyaan tentang Akbar. Ya, Allah, apakah aku sebegitunya menyukai si jagoan futsal? Padahal aku tidak tahu perasaan dia padaku. Mungkin sekarang, dia sedang menikmati masa-masa muda dengan seorang cewek yang sama sekali tak ku kenal. Bahkan aku tak menemukan jawaban ketika Martha pernah cerita soal keberadaan Akbar sekarang.
"Ia kuliah di Aussy," ujarnya singkat.
"Kamu tahu darimana? Memang, kamu sering berkomunikasi ya sama dia?" tanyaku penasaran.
"Ga' aku juga baru tahu, waktu aku buka Friendster dan dia add aku. Awalnya aku ga' yakin, tapi setelah aku lihat profilnya, ternyata memang Akbar," jelas Martha. Aussy. Sebuah negara yang ga' mungkin aku tempuh. Tapi, setidaknya aku senang karena tahu keberadaan dia sekarang.
"Trus dia ga' pernah pulang ke Indonesia?", tanyaku lagi.
"Sebenarnya tiap tahun dia pulang, tapi cuma sebentar dan cuma ketemu sama Putra." lanjut Martha. Ya, aku dan Putra memang kehilangan kontak setahun belakangan. Jadi, aku ga' tahu apa-apa soal Akbar.
"Ternyata, cinta pertama sulit dilupakan ya?" ujar Martha tiba-tiba. "Kok, kamu ngomong gitu?" balasku.
"Ya iyalah, aku tahu lagi, kalau sampai sekarang kamu masih memendam perasaan sama dia, bahkan mungkin udah lebih, karena kita udah semakin dewasa. Tapi, ada satu hal, Akbar udah tahu soal perasaan kamu. Tapi, aku ga' tahu perasaan dia ke kamu," jelasnya.
What? Akbar sudah tahu tentang perasaanku. Sejak kapan? Untuk hal ini, Martha ga' punya jawabannya. "Mar, dia itu cuma cerita masa lalu," balasku. Pernyataan Martha memang benar, aku sulit melupakan dia sebagai cinta pertamaku. Tapi, perasaanku biasa saja. Aneh. Benar-benar aneh. Entah apa rahasia yang tersembunyi di balik perasaanku ini. Apalagi Akbar sudah tahu tentang perasaanku padanya, tanpa pernah kuketahui bagaimana perasaannya padaku. *** ***
Setahun lalu, aku mengakhiri kebersamaanku dengan Andri. Sebuah ajakan untuk menikah, membuatku harus mengambil keputusan ini. Aku masih terlalu muda dan belum siap untuk menikah, sedangkan Andri sudah merasa siap untuk berumah tangga, karena secara usia dia dua tahun ai atasku. Tapi, kami putus secara baik-baik. Walaupun jujur, aku masih sangat menyayanginya dan sedih harus berpisah. Tapi, ini adalah keputusan terbaik yang harus diambil dan kenyataannya sekarang, aku dan Andri bersahabat.
Sebulan lalu, kudengar ia sudah menemukan penggantiku yang langsung menerima ajakannya untuk menikah. Tentu saja mereka bertunangan terlebih dahulu. Ya, aku ikut bahagia mendengarnya, meskipun sisa-sisa sayang dan cinta itu masih ada untuknya. Kini, ada dua kenyataan yang tak bisa kuingkari. Pertama, Andri adalah orang yang sangat berarti bagiku dan rasa sayangku masih ada untuknya. Meskipun kini kami hanya bersahabat baik. Kedua, Akbar adalah cinta pertamaku. Terus terang, aku sayang sama Andri dan perasaan ini ga' bisa dibohongi. Tapi, Akbarlah cinta pertamaku yang akan selalu kukenang.
Beberapa kali aku pernah berkomunikasi dengannya lewat situs-situs pertemanan. Ya, setelah cerita Martha hari itu, aku langsung berusaha mencari kebenarannya. Alhamdulillah, aku menemukannya dan Akbar meresponku. Aku senang karena dia masih ingat aku, bahkan tak jarang ia menggodaku saat mengisi testi di profilku. Akupun balik menggodanya dengan berbagai lelucon unik. Ya, mungkin seperti inilah takdir mengizinkan aku berkomunikasi dengannya. Aku masih berharap bisa bertemu dengan Akbar yang mungkin sudah jauh berubah. Dari koleksi foto yang ia pajang di profilnya, ia kelihatan agak gemukan.
Suatu ketika, aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya ewat testi atau private message. Tapi aku batalkan, karena di situ aku lihat bahwa status yang tertera bukanlah single tetapi it's complicated. Sebuah pertanda, bahwa aku harus membatalkan niatku. Ditambah lagi, salah satu album fotonya, terpajang foto-foto bahagianya bersama satu orang cewek yang begitu manis dan aku pikir beruntung mendapatkan Akbar.
"Itu cuma teman dekat aja kok, bukan pacar,". Itulah jawabnya ketika aku bertanya tentang siapa cewek itu. Tapi, aku tetap yakin kalau itu adalah seseorang yang sangat spesial buat dia. *** ***
Ya, sudah hampir enam tahun aku tak bertatap muka dengan Akbar. Kini, aku hanya berdoa agar aku, Akbar dan Andri menemukan kebahagiaan masing-masing. Tapi, untuk saat ini aku masih ingin sendiri dan belum terpikirkan untuk mencari pengganti Andri. Bukan karena aku masih menyayanginya, tapi karena aku mau fokus ke kuliah yang sebentar lagi akan selesai. Lagipula, aku tipe cewek yang susah jatuh cinta. Satu keyakinanku saat ini adalah suatu hari kelak, aku bisa bertemu Akbar. Meskipun, aku ga' mungkin lagi mengungkapkan perasaanku padanya, karena memang saat ini perasaanku biasa saja padanya.
Memang, sebuah perasaan yang aneh dan ga' masuk akal. Tapi, ia akan tetap jadi cinta pertamaku. Sebenarnya, jika boleh berharap lagi, aku mau ia yang jadi cinta terakhirku. Namun, aku tak tahu. Everything is Possible. Itulah motto hidupku. Tapi, untuk yang satu ini, aku sepertinya kurang yakin dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Kisah ini sudah dimulai, sedang berjalan dan akan segera berakhir. Tapi, kapan dan bagaimana akhir dari kisah ini adalah sebuah rahasia misterius yang hanya bisa dijawab oleh takdir dan waktu. Bahkan, aku sendiri pun tak tahu jawabannya.

Pekanbaru - Jakarta, Januari 2009.
For My Best Friend in Bougenville Campoes
(Spesial for My Best Friend in Campoes Bougenville)